SEMBARI MENGANTRI BERANGKAT KE TANAH SUCI

Bismillah, hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiihi kamaa yukhibbu robbunaa wa yardho..

Beberapa bulan lalu bapak dan ibu memberikan “dhawuh” ke saya supaya mengantarkan beliau ke kantor Departemen Agama Sukoharjo untuk mendaftar antrian haji. Subhanallah, bapak ibu mendapat antrian tahun 2015. Begitu takjub, sedemikian banyaknya saudara saudara kita yang memiliki niat kuat untuk berangkat haji. Semoga Allah memudahkan langkah saudara – saudara kita tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Jadi “mbatin”, how about me? Hehehe… Saya di sini baru memiliki niat dan Allah belum beri kesempatan dan kemampuan untuk antri haji.

Iseng-iseng waktu mbuka – mbuka laman internet, mencoba untuk mencari informasi antrian haji di negeri tercinta ini. Tahun 2011 sekitar 1,2 juta orang yang antri haji (www.investor.co.id). Kabupaten Bulukumba dan Balikpapan antrian haji tercatat hingga tahun 2024 dan 2021(www.ujungpandangekspres.com;www.persaudaraanhaji.org). Angka yang sungguh luar biasa. Hal ini diprediksikan oleh beberapa pengamat diakibatkan oleh skema – skema yang berniat baik untuk membantu saudara – saudara kita yang ingin berangkat haji. Tidak perlu disebutkan apa skemanya karena semua pembaca yang budiman tentu sudah mengetahuinya. Mulai dengan bank negara hingga bank swasta bahkan perorangan (dalam bentuk MLM ataupun arisan) membuka peluang keberangkatan haji tersebut.

Terkait dengan ide di paragraf di atas, penulis ingin mengajak pembicara untuk berfikir sejenak. Saat ini orang dengan mudah mendapatkan fasilitas dana T*l*ng Haji hanya dengan membayar lebih kurang Rp. 500.000,- dan dengan tambahan sedikit administrasi. Setelah itu bank akan membayarkan 25 juta kepada orang tersebut agar bisa antri haji. Orang yang mendapat tal*ng*n tersebut kemudian melunasi selama 3 tahun (36 bulan) dengan angsuran menurut ketentuan bank dan dia sudah mendapatkan nomor kepastian berangkat haji. Berapapun bunganya, bahkan ada yang mengatakan hingga 12% (www.jpnn.com), bisa dipastikan bahwa BANK TIDAK AKAN MAU DIRUGIKAN DENGAN MEMBERI SKEMA tersebut. Dan ini bukanlah rahasia umum bahwa bank pasti berorientasi pada bisnis. So, orang tersebut pasti membayar lebih dari 25 juta. Sebenarnya ini sama saja dengan kita utang ke bank, dan kita juga membayar bunganya, hanya saja utang tersebut untuk berangkat haji.

Kalau dipikir – pikir secara bisnis, memang sih, cukup menguntungkan kedua belah pihak. Dana bank terserap dan orang orang bisa pergi haji. Namun yang terjadi adalah ini berakibat pada pembengkakan antrian. Memang kalau dikembalian pada masing – masing pasti akan menjawab: Yah dengan antrian haji ini kita jadi tahu kapan kita berangkat, istilahe ayem lah wis ono rencana kapan lungo nang mekkah, perkoro umure mengko ora tekan, sing penting kan wis niat. Di sisi lain muncul pertanyaan lagi: lah kalau caranya begitu, yakni dengan utang dan lalu kita membayar bunga, walau untuk keperluan baik sekalipun, bukannya itu mirip ya sama rentenir? Hehehe…Kan bunga bank itu riba ya, sekalipun di bank syariah…Yah, penulis ini hanya berpikir liar saudara-saudara. Bukan liar, tapi sedikit nyleneh supaya keliatan kritis J. Wallahu a’lam.

Penulis hanya mengajak refleksi sejenak atas fenomena antrian haji yang begitu fantastik ini. Dari sini akan lebih tepat dikatakan bahwa penulis ingin mengajak pembaca supaya berhati – hati dengan hal – hal semacam ini. Saat ini disinyalir bahwa banyak oknum yang menggunakan in untuk momen money game. Ingat jenmani dan gelombang cinta kan? Ingat ikan yang bathuke nonong? Mereka adalah kambing hitam orang – orang yang suka main duit. Salah satunya MLM haji yang penyelenggaranya ndak jelas jluntrungannya (legal formal). Banyak masyarakat di pedesaan yang kurang informasi jadi tertipu. Mereka diiming imingi haji dengan biaya yang murah, setelah bayar DP ke penyelenggara, eeeeh, kabur aja mereka, ketipu deh tuh saudara – saudara kita yang di desa. Kesian nggak?

Para pembaca yang budiman, yuk, kita hati – hati. Niat yang mulia telah mendapatkan pahala, dan untuk mewujudkan niat yang mulia tersebut haruslah dengan cara yang mulia juga. Bagaimana kelak kalau kita jadi berangkat haji, namun biaya yang kita pakai tercampur dengan syubhat yang nampaknya BENAR bagi kita. Akan lebih arif jika sebelum kita mengikuti skema – skema tersebut, kita mengkonsultasikan dulu pada beberapa ulama’ yang arif dan bijaksana. Bukanlah di sini penulis “nggembosi” niat panjenengan – panjenengan sekalian. Alangkah puasnya hati kita jika kita kelak berangkat haji dengan dukungan dana yang terbebas dari syubhat riba. Hendaknya kita tidak terlena dengan kata SYARIAH, karena betapa banyak praktek praktek di bank syariah turunan konvensional yang masih tercampur dengan riba. Wallahulmusta’an

Lhah trus bigimana ya cara yang paling aman? Ini sebenarnya sangat konvensional dan pasti sudah ada di benak kita masing masing. Misal, MENABUNG. Trus muncul pertanyaan, lha sampai kapan kita bisa berangkat haji? Sekarang saja antrinya sudah sampai 2014, yang realistis lah? Hehehe…Pembaca yang budiman, ingat ngga pilem “Emak Ingin Naik Haji”? Di pilem tersebut sarat sekali dengan hikmah. NIAT yang KUAT, KETULUSAN dan KEMURNIAN IMAN dari seorang ibu tua yang rela mengumpulkan sedikit – demi sedikit uang hasil berdagang kue, ditabung di celengan butut… Subhanallah…Lha iya? Trus kapan berangkatnya kalau caranya seperti itu? Sekarang saya tanya balik, memang panjenengan puas dengan keberangkatan haji yang caranya tercampur dengan syubhat? J peace man….hehehe…Percayalah kawan, bahwa dengan niat yang kuat dan doa yang tulus disertai dengan cara yang benar, Allah PASTI AKAN MEMUDAHKAN LANGKAH KITA KE JALAN MANA ALLAH KEHENDAKI…simpel kan? Niat haji, iya…usaha DENGAN CARA BENAR, pasti…kapan berangkat? Allah yang ngatur jadwalnya deh… J. Oke sobat?

Prakteknya bagaimana? Yuk kita mulai sekarang komitmen. Coba sediakan tabungan di rumah, terserah bentuknya seperti apa dan cara pengamanannya bagaimana. Azzamkan bahwa itu adalah untuk tabungan haji, tidak akan dipakai untuk keperluan lain. Potong penghasilan kita setiap mendapat rizki, berapapun potongannya, terserah panjenengan, masukkan ke celengan haji itu. Ini adalah cara yang paling jitu dan terbebas dari syubhat riba. Cara lain, bisa dengan membentuk group yang iuran masing – masing tiap periode haji bisa memberangkatkan beberapa orang sesuai kesepakatan. Kalau uang terkumpul tiap sub periode, coba tabung dalam bentuk emas, insyaAllah ini lebih aman dan terjamin nilainya. Emas tersebut bisa di simpan di perusahaan yang memproduksi emas seperti PT Aneka Tambang. Para pembaca bisa membeli kepingan emas dari perusahaan ini kemudian disimpan di perusahaan tersebut. Tiba masanya, panjenengan semua bisa jual emas tersebut untuk beli haji. Tapi tetep ingat bahwa tabungan itu khusus diperuntukkan keperluan haji. Bismillah, insyaAllah Allah membantu memuluskan niat antum. Yassalahhu umuurakum fil hajj.

Para pembaca yang budiman, setelah kita memiliki niat untuk berhaji, kemudian mulai membuat skema pribadi untuk pembiayaan haji, maka selanjutnya kita perlu untuk menjaga kuat kuat agar niat itu selalu ada dalam hati. Ingat sobat, niat berhaji itu merupakan salah satu dari sekian banyak hidayah yang Allah berikan pada hmba Nya yang beriman. Banyak orang yang mengatakan bahwa haji itu merupakan sebuah bentuk ibadah yang bisa dilakukan oleh orang yang hanya telah mendapatkan panggilan langsung dari Allah SWT. Dan kenyataannya memang banyak orang yang sebenarnya mampu (baik fisik maupun harta) untuk berangkat haji tetapi belum melaksanakannya. Alasan mereka adalah belum mendapat undangan. Kalau pertanyaan ini kita teruskan, undangan dari Allah SWT itu bentuknya seperti apa? Fisik atau panggilan hati atau yang sering kita sebut hidayah Allah SWT?

Beberapa saat lalu ada obrolan santai mengenai masalah ini. Para pengamat mencoba mengamati beberapa orang yang secara ekonomi mampu tetapi belum menunaikan ibadah haji. Dengan mengabaikan faktor undangan dari Allah SWT, ada beragam faktor yang membuat mereka belum berangkat haji, antara lain :

  1. Ada yang takut dan minder dengan masa lalu yang kelam sehingga muncul anggapan bahwa nanti kalau sudah sampai tanah suci bisa kena balas / karma. Makanya mereka lebih memilih memberangkatkan haji orang lain.
  2. Ada yang belum siap untuk selalu baik sepulang dari haji. Dalam anggapan mereka, kalau orang sudah haji itu sudah dug dheng karena sudah melakukan ibadah yang “paling sakral” menurut mereka. Sehingga kesakralannya pun harus dijaga. Maka orang yang sudah beribadah haji tidak boleh melakukan tindakan kemaksiatan sama sekali.
  3. Ada yang merasa bahwa haji belum menjadi prioritas dalam hidupnya. Haji yang memang menuntut pengorbanan fisik dan harta bagi mereka merupakan urutan yang kesekian dalam kehidupan ini. Mereka lebih memprioritaskan rumah yang megah, mobil mewah, asuransi kesehatan, pendidikan dan lainnya. Jadi mereka baru akan melaksanakan ibadah haji apabila ada harta yang lebih dari kebutuhan dan prioritas utamanya.
  4. Ada yang merasa ’eman’ dengan biaya haji yang cukup besar. Mereka sebenarnya mempunyai harta yang cukup, tetapi ada perasaan sayang kalau harta tersebut digunakan untuk membiayai ibadah haji. Mereka sadar bahwa haji merupakan sebuah kewajiban agama, tetapi kan sekali dalam seumur hidup dan kapan saja. Sehingga mereka lebih senang untuk mengembangkan modalnya terlebih dulu dalam bentuk investasi daripada untuk menunaikan haji.
  5. Ada yang merasa takut belum bisa memenuhi budaya masyarakat terkait dengan haji. Dalam masyarakat Indonesia, ibadah haji mendapatkan tempat yang spesial. Banyak sekali tuntutan masyarakat terhadap orang yang pergi haji. Mulai dari sebelum berangkat harus mengadakan syukuran, pulangnya bawa oleh2 dan memberi makan pada yang ziaroh, harus bisa jadi imam dan berdo’a dan berbagai tuntutan sosial yang lain. Hal-hal demikianlah yang membuat mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya secara lebih dari tuntutan syariat haji itu sendiri.
  6. Ada yang alasannya merupakan kombinasi dari kelima alasan diatas, baik secara keseluruhan maupun sebagian saja.

Dari berbagai kondisi dan latar belakang seperti itulah, akhirnya mereka menutupi keengganan mereka untuk menunaikan ibadah haji dengan alasan bahwa saya belum mendapat undangan atau hidayah.

Pembaca yang budiman, ingat nggak dengan panggilan Allah di dalam Al- Qur’an surat Al-Hajj ayat 27-30 yang artinya, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. dan Telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”.

Adapun kalau kita bicara tentang panggilan hati / hidayah sesungguhnya Allah SWT sudah menyerahkan hal tersebut kepada pilihan kita sendiri dengan firman-Nya dalam Al Qur’an surat asy-syams ayat 8-10 yang artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Dari ayat tersebut maka kita sudah bisa sedikit mengevaluasi diri kita, apakah kita mempunyai kesungguhan untuk memilih jalan kefasikan atau ketakwaan.

Artinya, inti dari semua ini adalah kesungguhan untuk menempuh jalan hidayah dan menjaganya dengan istiqomah.

Dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi nasehat dari seorang kawan yang sudah berpengalaman naik haji. Beberapa point yang beliau nasehatkan adalah :

  1. Haji yang memakan waktu selama 40 hari dengan tempat yang berpindah-pindah (belum terhitung masa persiapan dan silaturrahim pasca haji) memerlukan persiapan fisik dan mental yang prima. Dalam hal ini faktor usia, kesehatan dan tingkat kedewasaan sikap sangat menentukan. Untuk itu saran pertama adalah berhajilah anda pada usia muda. Usia 20-40 tahun merupakan usia yang ideal bagi seseorang untuk berhaji. Berkaitan dengan prioritas kebutuhan, kita harus yakin bahwa rezeki itu Allah SWT sudah tentukan takarannya untuk kita semua.
  2. Saran kedua adalah sebelum anda berangkat haji, galilah sebanyak mungkin pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan haji. Baik pengetahuan tentang substansi dan manasik haji ataupun informasi yang berkaitan dengan permasalahan teknis di tanah suci terutama menyangkut kehidupan sosial, penginapan, makanan, transportasi dan hal detil yang lain. Saat ini banyak buku dan media elektronik yang menyuguhkan informasi tentang ibadah haji dan kondisi di tanah suci.
  3. Berkaitan dengan kekhawatiran masa lalu, kita harus yakin dengan sifat rahman, rahiim dan ghaffur dari Allah SWT. Kawan saya tersebut mempunyai pengalaman ada seorang teman satu rombongan yang masa lalunya juga kurang baik. Namun beliau sudah menyatakan tobatnya dan berharap dengan ibadah haji adalah tambahan komitmen untuk perbaikan dirinya. Dan itulah yang terjadi pada dirinya. Bahkan selama proses ibadah haji, nampak kelebihan dia dalam beribadah dibanding yang lain. Tidak ada kejadian aneh yang menimpa dirinya berkaitan dengan masa lalunya, malah kemudahan yang sering didapatnya. Jadi kondisi disana sangat tergantung pada niat. Ketika kesombongan yang muncul, maka terjadilah hal-hal yang tidak kita inginkan. Apakah itu bentuknya kita jadi tersesat jalan, sakit yang berkepanjangan, pertengkaran pada hal-hal yang sepele, tidak dapat tempat yang lapang di masjid atau hal-hal lain yang bagi kita memberatkan.
  4. Berkaitan dengan anggapan bahwa setelah menunaikan ibadah haji tidak boleh bermaksiat dan harus berbuat baik, sesungguhnya sebelum ibadah hajipun seseorang tidak boleh melakukan maksiat dan harus selalu berbuat baik. Sehingga dengan momentum haji ini, dimanfaatkan untuk memperkuat komitmen diri agar senantiasa cenderung kepada ketaqwaan. Ketika ibadah haji menjadi sebuah media pendidikan ruhani kolosal, insya Allah negeri kita (sebagai kontributor terbesar dalam jama’ah haji) akan menjadi negeri yang dipenuhi orang beriman dengan banyak keberkahan sebagaimana yang Allah SWT janjikan dalam Al Qur’an surat An-Nuur ayat 55 yang artinya ” Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”

Nasihat kawan tersebut dapat ditarik benang merah adalah bahwa kewajiban kita adalah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menunaikan syari’at Islam. Dalam konteks haji, maka upaya yang harus kita lakukan adalah mengumpulkan bekal (baik harta, ilmu serta fisik) agar secara logika kemanusiaan kita siap melaksanakan ibadah haji.

Menabung dengan cara yang benar dan terbebas dari syubhat riba merupakan bentuk riil dari persiapan kita. Kalau semua itu sudah kita lakukan, barulah berserah diri kepada undangan Allah SWT, apakah kita dipanggil atau tidak. Dan itulah ciri umat Islam, sebagai umat pertengahan, kita wajib bertumpu pada usaha tetapi tetap menggantungkan pada takdir Allah SWT.

Allohu ‘alam bishowwab.